Blog ini sebagai tempat pengumpulan data mengenai objek obyek wisata yang ada di wilayah Timor- leste dan Enclave Oecussi. Sehingga dapat menjadi media informasi bagi pengunjung yang hendak melakukan travel ke Timor -Leste
Jumat, 10 Februari 2012
EKOWISATA
I. LATARBELAKANG
Lindberg, (2002), memberikan gambaran tentang Pariwisata merupakan salah satu industri terbesar di dunia. World Travel and Tourism Council pada tahun 1998 menyebutkan bahwa sektor pariwisata memiliki pertumbuhan yang cukup besar yaitu 4 persen per tahun dan menyumbang sekitar 11,6 persen pada GDP dunia. Pada tahun yang sama, sektor pariwisata telah mampu menyerap 9,4 persen dari total lapangan pekerjaan sektor ini atau sama dengan 230,8 juta pekerjaan baru. Sedangkan untuk Indonesia, pada dasawarsa terakhir industri pariwisata telah berkembang dengan pesat dan telah menjadi industri yang menjadi, andalan bagi devisa negara terutama pada masa krisis. Pada tahun 2000 sektor pariwisata telah menyumbang sebesar 9,27 persen dad GNP Indonesia dan telah menyerap hampir 8 persen dari seluruh jumlah tenaga kerja (Menparda, 2000). Namun demikian, kebijakan pembangunan pariwisata yang telah dilakukan lebih mengutamakan manfaat ekonomi sehingga mengakibatkan terabaikannya pelestarian lingkungan dan terpinggirkannya penduduk lokal (Siregar, 2001).
Terjadinya kasus penurunan kualitas biodiversity, penetrasi budaya komunitas lokal oleh budaya asing dibeberapa tempat di Indonesia, telah dituding oleh berbagai kalangan sebagai akibat dari kegiatan pariwisata masal. Sehingga hal tersebut telah mengundang banyak protes terutama dari kalangan konservasionis.
Wearing and Neil (2009), dalam bukunya yang berjudul Ecotourism; Impacts, Potentials and possibilities?, menyoroti khusus tentang persoalan yang telah disinggung diawal dengan beberapa kalimat kritikan terhadap pariwisata massal yang dianggapnya “merusak” segala keaslian harmonisasi yang telah ada. Sedangkan Ceballos-Lascurain (1996) mengidentifikasi setidaknya ada delapan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan wisata. Kedelapan dampak tersebut : dampak terhadap formasi bebatuan, tanah, air, tumbuhan, hidupan liar, sanitasi, lansekap, dan Iingkungan sosial budaya. Secara garis besar, dampak yang ditimbulkan dapat dimasukan kedalam dua kategori yaitu dampak lingkungan fisik dan lingkungan sosial-budaya. Dampak terhadap kondisi sosial-budaya setidaknya dapat ditemukan dalam dua literatur yaitu Gartner (1996), Ceballos-Lascurain (1996), dan Barrow (2000). Menurut literatur tersebut bentuk yang dapat diidentifikasi diantaranya: a) ketakutan masyarakat akan ancaman, b) perubahan struktur sosial dan mata pencaharian, c) perubahan nilai d) perubahan standard hidup, e) perubahan sistem ekonomi, f)budaya dijadikan komoditas komersial, g) kriminalitas, h) kesehatan masyarakat,
Menyikapi persoalan penurunan kualitas lingkungan seperti yang disebutkan diatas, banyak kalangan praktisi dan ilmuan turut menawarkan berbagai konsep dan pemikiran ilmiah sebagai solusi masalah. Namun sampai dengan saat sekarang belum ada hasil-hasil kajian yang melaporkan perihal perbaikan kualitas lingkungan yang telah rusak akibat dampak pariwisata massal. Sehingga konsep pembangunan berkelanjutkan seperti yang diamanahkan Agenda 21-pun, perlu dipertanyakan kembali tentang bagaimana penjabaran dan implementasinya dilapangan?, dalam konteks pariwisata seperti apakah pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan?, apakah konsep ekowisata benar-benar sebagai aktivitas yang mencirikan pembangunan berkelanjutan?. tulisan ini berupaya mengungkap kembali atas pertanyaan tersebut melalui penelusuran kajian literatur.
II. CATATAN PENTING AGENDA 21
The World Commission on Environment and Development yang didirikan tahun 1983 dan diketuai oleh Harlem Bruntland - seringkali disebut juga sebagai Komisi Bruntland - sebagai respon atas resolusi Majelis/Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyampaikan laporannya yang berjudul “Our Common Future” pada tahun 1987. Di dalam laporan tersebut untuk pertama kali dinyatakan pentingnya Pembangunan Berkelanjutan yang didefinisikan sebagai : “Pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Development which meets the needs of present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). Pendekatan pembangunan berkelanjutan hanyalah sebuah gagasan bila tidak dijabarkan ke dalam tindakan yang dapat mengurangi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh model pembangunan yang selama ini dilaksanakan. Pada tahun 1992, dalam United Nation Conference on Environment and Development -the Earth Summit- di Rio de Janeiro, dirumuskan program tindak yang menyeluruh hingga abad ke-21 yang disebut Agenda 21, yang kemudian diadopsi oleh 182 negara peserta konferensi termasuk Indonesia.
Agenda 21 merupakan cetak biru untuk menjamin masa depan yang berkelanjutan dari planet bumi dan merupakan dokumen semacam itu yang pertama mendapatkan kesepakatan internasional yang sangat luas, menyiratkan konsensus dunia dan komiment politik di tingkat yang paling tinggi.
2.1. Mandat Agenda 21 Untuk Pariwisata
Dalam tataran kepariwisataan internasional, pertemuan Rio ditindaklanjuti dengan Konferensi Dunia tentang impelentasi Agenda 21 dalam konteks Pariwisata Berkelanjutan pada tahun 1995 yang merekomendasikan pemerintah negara dan daerah untuk segera menyusun rencana tindak pembangunan berkelanjutan untuk pariwisata serta merumuskan dan mempromosikan serta mengusulkan Piagam Pariwisata Berkelanjutan (Gunawan dkk, 2000).
Prinsip-prinsip dan sasaran-sasaran dari piagam tersebut adalah bahwa (Gunawan dan Lubis, 2000):
1. Pembangunan pariwisata harus berdasarkan kriteria keberlanjutan -dapat didukung secara ekologis dalam waktu yang lama, layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial bagi masyarakat setempat.
2. Pariwisata harus berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan dan diintegrasikan dengan lingkungan alam, budaya dan manusia.
3. Pemerintah dan otoritas yang kompeten, dengan partisipasi lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat setempat harus mengambil tindakan untuk mengintegrasikan perencanaan pariwisata sebagai kontribusi kepada pembangunan berkelanjutan.
4. Pemerintah dan organisasi multilateral harus memprioritaskan dan memperkuat bantuan, langsung atau tidak langsung, kepada projek-projek pariwisata yang berkontribusi kepada perbaikan kualitas lingkungan.
5. Ruang-ruang dengan lingkungan dan budaya yang rentan saat ini maupun di masa depan harus diberi prioritas khusus dalam hal kerja sama teknis dan bantuan keuangan untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan.
6. Promosi/dukungan terhadap berbagai bentuk alternatif pariwisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
7. Pemerintah harus mendukung dan berpartisipasi dalam penciptaan jaringan untuk penelitian, diseminasi informasi dan transfer pengetahuan tentang pariwisata dan teknologi pariwisata berkelanjutan.
8. Penetapan kebijakan pariwisata berkelanjutan memerlukan dukungan dan sistem pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan, studi kelayakan untuk transformasi sektor, dan pelaksanaan berbagai proyek percontohan dan pengembangan program kerjasama internasional.
Sebagai industri terbesar di dunia, pariwisata memiliki potensi yang sangat besar untuk mempengaruhi -negatif maupun positif- lingkungan, keadaan sosial dan ekonomi dunia. Agar pariwisata dapat secara efektif memberikan kontribusi yang positif, program tindak global Agenda 21 dan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan perlu diterjemahkan ke dalam langkah-langkah nyata yang relevan bagi pariwisata. World Tourism and Travel Council (WTTC) bersama-sama dengan World Tourism Organization dan Earth Council kemudian menerjemahkannya ke dalam program tindak bagi industri perjalanan dan pariwisata yang disebut Agenda 21 untuk Industri Perjalanan dan Pariwisata.
Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah: “Pariwisata yang memenuhi kebutuhan wisatawan dan wilayah yang didatangi wisatawan (destinasi wisata) pada saat ini, sekaligus melindungi dan meningkatkan kesempatan di masa depan. Pengertian tersebut mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sekaligus memelihara integritas kultural, berbagai proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan berbagai sistem pendukung kehidupan.”
Produk-produk pariwisata berkelanjutan adalah produk-produk yang dioperasikan secara harmonis dengan lingkungan, masyarakat dan budaya setempat sehingga mereka terus menerus menjadi penerima manfaat bukannya korban pembangunan pariwisata. Selain itu, dokumen tersebut menyiratkan bahwa membuat perubahan ke arah pariwisata yang berkelanjutan memerlukan perubahan orientasi cara kerja yang fundamental dari dua pihak yaitu: Pertama, Pemerintah dalam mengarahkan pembangunan pariwisata serta; Kedua, usaha agen perjalanan dan pariwisata dalam menjalankan usahanya. Oleh karenanya, Dokumen Agenda 21 untuk Industri Perjalanan dan Pariwisata menyarankan berbagai program tindak yang perlu dilakukan oleh kedua institusi tersebut. Agenda 21 sektor pariwisata dirumuskan ketika bangsa Indonesia menghadapi isu-isu good governance (tata pemerintahan yang baik), hak azasi manusia dan pengembangan manusia yang berkelanjutan sehingga isu-isu tersebut begitu mewarnai program tindak di dalam agenda pembangunannya.
2.2. Agenda 21 Sebagai Tanggung Jawab Bersama
Agenda 21 Sektor Pariwisata Indonesia tidak hanya menganggap pariwisata berkelanjutan sebagai tanggung jawab dua pelaku utama dalam pariwisata: yaitu pemerintah dan usaha pariwisata. Tetapi melihat seluruh pihak -pemerintah, usaha pariwisata, LSM dan masyarakat, wisatawan- yang terlibat dalam kepariwisataan mempunyai tanggung jawab dalam mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan sehingga program tindak disusun untuk seluruh pelaku.
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab pemerintah, terjadi pergeseran wewenang yang cukup signifikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sehingga porsi yang cukup besar diberikan untuk program tindak adalah pemerintah daerah, sebagai provider yang mengendalikan langsung dilapangan.
Guna tercapainya pembangunan pariwisata berkelanjutan, setidak-tidaknya perlu dijalankan lima program sebagai berikut:
1. Kesadaran tentang tanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan dari semua stakeholder kepariwisataan, karenanya program tindak untuk mengembangkan landasan dan kerangka hukum yang tangguh, penegakan hukum, peningkatan kesadaran masyarakat melalui pendidikan publik, pengembangan dan peningkatan peran lembaga swadaya masyarakat, pengembangan sistem informasi pendukung pariwisata berkelanjutan menjadi program-program yang diprioritaskan.
2. Pergeseran peranan pemerintah pusat dalam pembangunan pariwisata yang berisi tentang berbagai tindakan yang perlu dilakukan pemerintah pusat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian pembangunan pariwisata dalam era otonomi daerah.
3. Peningkatan peranan pemerintah daerah dalam pembangunan pariwisata nasional yang berisi tindakan-tindakan yang perlu dilakukan pemerintah daerah dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penendalian pembangunan pariwisata agar berkelanjutan dalam era otonomi daerah.
4. Kemantapan industri pariwisata yang berisi tindakan-tindakan yang perlu dilakukan usaha pariwisata dalam meningkatkan daya saingnya melalui peningkatan kehandalan dan kredibilitas, pengelolaan usaha secara berkelanjutan, penjalinan kerjasama diagonal, promosi nilai-nilai lokal dalam usaha pariwisata.
III. Pariwisata Berkelanjutan
Perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan tidak sesederhana dan selinier yang disampaikan di atas. Gagasan pembangunan berkelanjutan secara simultan dan sporadik telah ditanggapi sejak dini oleh berbagai pihak yang terkait dengan pariwisata di berbagai belahan dunia. Kesadaran terhadap persoalan-persoalan lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang ditimbulkan oleh model pembangunan dan praktek kegiatan wisata yang biasa/massal mendorong beberapa pelaku pariwisata untuk membuat produk-produk yang lebih ramah lingkungan, sosial dan budaya, sehingga munculah berbagai produk pariwisata “bentuk baru” seperti -ecotourism, alternative tourism, appropriate tourism, culture tourism, adventure tourism, green tourism, soft tourism, wildlife tourism, communitiy-based tourism, dan lain sebagainya- sebagai jawaban atas praktek pariwisata massal.
Untuk menjamin bahwa produk-produk yang ditawarkan usaha dan destinasi pariwisata betul-betul ramah lingkungan dan berkelanjutan dan mudah dikenali pasar yang menginginkan produk tersebut, beberapa negara telah mengembangkan berbagai skema penilaian dan sertifikasi terhadap komponen produk wisata mulai dari daya tarik nasional:
1. Blue Flag untuk pantai,
2. Green Leaf, untuk akomodasi,
3. Green Suitcase- untuk biro perjalanan,
4. Green Globe- untuk kawasan wisata dan destinasi.
Sementara itu WTO mengembangkan indikator untuk pembangunan/pengembangan pariwisata berkelanjutan (Indicators of Sustainable development for Tourism Destinations), yang merupakan bukti komitmennya untuk mendukung Agenda 21, sebagai kelanjutan dari disusunnya Agenda 21 Sektor Pariwisata bersama WTTC dan EC pada tahun 1995. Indikator yang dapat dipakai untuk mengukur tingkat keberlanjutan suatu destinasi wisata adalah :
1. Kesejahteraan (well being) masyarakat sebagai tuan rumah
2. Terlindunginya aset-aset budaya
3. Partisipasi masyarakat
4. Kepuasan wisatawan
5. Jaminan kesehatan dan keselamatan
6. Manfaat ekonomi
7. Perlindungan terhadap asset alami
8. Pengelolaan sumber daya alam yang langka,
9. Pembatasan dampak dan
10. Perencanaan dan pengendalian pembangunan
Indikator ini dapat diartikan sebagai arah kemana program pembangunan pariwisata harus dilakukan atau ukuran keberhasilan yang harus dicapai, jadi bukan banyaknya jumlah pengunjung. Untuk itu perlu penjabaran ke dalam program tindak ( action plan) yang lebih rinci. Hal ini telah dilakukan di beberapa provinsi di tanah air, walaupun secara keseluruhan (comprehensive), diperlukan penelitian yang lebih seksama.
IV. PERKEMBANGAN KONSEP EKOWISATA
Ide yang terkandung dalam ekowisata (diawal disebutkan pariwisata konsep baru) sebetulnya telah lama dikenal orang, dan muncul kemudian dalam bentuk tertulisnya di akhir tahun 1960-an atau awal 1970 (Fennel 1,1999). Namun, terminologi ekowisata mulai berkembang pada awal tahun 1980an. Pada saat itu terminologi ekowisata digunakan untuk menjelaskan adanya minat baru dari wisatawan untuk mendatangi daerah-daerah yang alami dan belum tersentuh pembangunan serta memiliki kekayaan budaya yang unik dengan tujuan menikmati, mengagumi dan mempelajari sesuatu (diadopsi dari definisi yang dikeluarkan oleh Ceballos Lascurain pada tahun 1988 dalam Mitch 1998; Furze et al. 1987; Wall &Ross 1998).
Pada pertengahan tahun 1990-an, setidaknya ada empat pihak yang memberikan kontribusi pada perkembangan konsep ekowisata berdasarkan kepetingannya masing-masing (Linberg et aL 1998). Pertama, pihak industri pariwisata yang memandang ekowisata sebagai alat pemasaran untuk mendatangkan wisatawan ke daerah-daerah yang mempunyai obyek wisata alami dan budaya. Kedua, pihak yang bergerak dalam pengembangan ekonomi pembangunan yang memandang ekowisata sebagai salah satu cara untuk menyediakan lapangan kerja di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau oleh saran dan prasarana pembangunan. Ketiga, pihak manajer sumberdaya dan konservasi yang melihat ekowisata sebagai peluang untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai program-program konservasi. Pihak ini juga menganggap bahwa ekowisata sebagai alat pendidikan untuk mempromosikan program-program konservasi. Pihak yang terakhir atau keempat, ialah kalangan yang peduli terhadap dampak lingkungan akibat dari berbagai kegiatan pariwisata. Mereka memandang ekowisata sebagai salah satu cara untuk mempromosikan keberlanjutan sumberdaya dan pembangunan di kawasan wisata.
Gartner (1996) mendefinisikan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai sebuah konsep yang mempunyai tujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap keuntungan jangka pendek dan merubah kepada keuntungan jangka panjang dengan cara melindungi sumberdaya yang dapat menarik wisatawan. Konsep ini juga diterjemahkan sebagai suatu rencana pembangunan yang menghubungkan wisatawan dan penyedia jasa pariwisa yang mengkampanyekan perlindungan sumberdaya dan komunitas lokalnya yang menginginkan kualitas hidup lebih baik (McIntyre 1993). Konsep 1, selanjutnya memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangg konsep ekowisata
4.1. Ecotourism versus Masstourism
Paradigma pariwisata berkelanjutan oleh kalangan tertentu, digunakan sebagai konsep dasar guna melaksanakan perencanaan dan implementasi pariwisata. Namun disisi lain penulis menilai dalam memaknai ekowisata atau wisata berkelanjutan, terdapat penafsiran ganda antar para stekholder pariwisata. Mencampur-adukan (baik penggunaan istilah maupun implementasi) antara pariwisata masal dan pariwisata berkelanjutan sudah sering terjadi dan ditemui dilapangan, misalkan mendisain produk jasa layanan ekowisata dan masstourism sama-sama berorientasi pada jasa yang padat karya. Padahal sesungguhnya jasa layanan ekowisata ada pada segmen wisata terbatas dan minat khusus, maka sangat menuntut profesionalitas dengan tingkat derajat interaksi dan pelayanan yang tinggi, sehingga menurut Schroeder (2007), jasa tersebut bersifat customization.
Demikian pula dalam memaknai produk ekowisata dan masstourism, nyaris memiliki kesamaan persepsi. Padahal yang dimaksud dengan produk masstourism adalah segala bentuk pelayanan yang disajikan bagi kebutuhan wisatawan, berupa benda-benda pariwisata yang bersifat material maupun non-material (Pendit, 1999). Sedangkan produk ekowisata lebih menekankan kepada experiential phenomenon. secara definisi disampaikan; Tourism products might more appropriately be viewed. as services, instead of goods, because tourism is an experiential phenomenon that brings people and places together over defined periods of time. (Davis, Dalam fennell, 2002)
Guna memperjelas dikotomi antara Masstourism dan wisata berkelanjutan, Maguire, (1987); wearing and Nail, (2009), memperkenalkan paradikma yang membedakan keduanya seperti tertera pada table berikut:
Tabel: Paradigma Pariwisata Massal dan Pariwisata Alternative (ecotourism)
No MASSTOURISM ECOTOURISM
1 Manajemen perubahan evolusioner dengan sebuah neo-liberal rasionalis barat yang pendekatan didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi Perubahan radikal kooperatif dan bergerak menuju pendekatan berbasis masyarakt di luar industri pariwisata yang ada.
2 Menjaga tatanan sosial, sistem pariwisata yang ada. Mengubah sistem, analisis konflik struktural dan kontradiksi serta termasuk analisis kondisi alam.
3 Efisiensi yang lebih besar adalah sistem peningkatan profitabilitas Menciptakan lebih adil dan sistem merata, agar melangkah lebih baik dari sistem pariwisata
4 Penampilan harmoni, integrasi dan khohesi kelompok-kelompok sosial yang terlibat dalam proses pariwisata. Kontradiksi antara idealisme dan realitas sosial, usaha untuk mendemontrasikan bagaimana mengurangi dampaknya
5 Fokus untuk cara mempertahankan kohesi dan konsensus. Cara untuk membongkar atau untuk mengubah dominansi sistem
6 Mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan individu dalam sistem sosial yang ada Sistem pariwisata saat ini merata tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia.
7 Difokuskan pada aktualitas, penemuan dan pemahaman apa alternative pariwisata. Difokuskan pada potensi : memberikan visi tentang apa yang didapat.
Sumber; Wearing and Nail, (2009)
Table diatas sangat mempertegas batasan-batasan perbedaan antara masstourism dan ecotourism, sehingga berdasarkan tujuannya maka ecotourism atau ekowisata; (a) memberikan pendidikan dan pembelajaran tentang lingkungan, (b) mempengaruhi sikap dan perilaku manusia agar perduli terhadap lingkungan dan konservasi, (c) dapat memberikan kontribusi pemberdayaan bagi masyarakat lokal.
Sasaran dari tujuan ekowisata diatas berimplikasi kepada terjalinnya interaksi harmonis antar sesama manusia, serta antar manusia dan ekosistem alam, sehingga penggunaan atas jasa lingkungan dapat berorientasi jangka panjang. Interaksi harmonis antar manusia dan alam oleh wearing and nail, (2009), digambarkan dalam bentuk munculnya kelompok-kelompok relawan wisata untuk tujuan pemulihan lingkungan. Sedangkan interaksi harmonis antar sesama manusia diwujudkan dengan kemitraan masyarakat local, LSM dan stakeholder wisata lainnya di dalam penyelesaian masala-masalah kemanusiaan, seperti kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi.
V. KESIMPULAN
Berangkat dari ulasan di atas, maka sesungguhnya pengembangan pariwisata dimasa mendatang tetap mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan, sehingga penggunaan sumberdaya dapat berorientasi jangka panjang. Hal tersebut bukanlah sekedar pada tataran konsep namun lebih jauh dari itu dapat diimplementasikan ke dalam praktik-praktik dilapangan.
Dengan menggunakan paradikma pelestarian biodiversity, diharakpan tidak ada lagi dikotomi antara masstourism dan ecotourism. Sehingga tidak akan ada lagi tudingan kerusakan lingkungan diakibatkan oleh pariwisata yang tidak berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Boo, E. 1990. Ecotourism: The Potentials and Pitfalls. Volume 1. Washington, D.C.: World Wildlife Fund.
Barrow, C.J. 2000. Social Impact Assessment: An Introduction. London: Arnold.
Ceballos-Lascurain, H. 1996. Tourism, ecotourism and protected area. Switzerland: IUCN
Fennell, D.A. 2002. Ecotourism programme Planning. CABI Publishing is a Division of CAB International
Gurung, C.P. 1995. People and Their Participation: New Approaches to Resolving Conflicts and Promoting Cooperation. J.A. McNeely [Editors]. Expanding Partnership in Conservation. Washington DC: Island Press.
Gartner, W.C. 1996. Tourism Development: Principles, Processes, and Policies. New York: Van Nostrand Reinhold.
Kolter, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, perencanaan, Implementasi dan Pengendalian (Edisi Kedelapan Terjemahan Arcella Ariwati Hermawan), Jakarta: Salemba Empat
Koentjaraningrat. 1992. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Linberg, K., B. Furze, M. Staff, R. Black. 1998. Ecotourism in the Asia Pacific
Region : Issues and outlook. Bangkok: FAO Regional Office for Asia and the Pacific.
Loomis, J.B., R.G. Walsh. 1997. Recreation Economic Decisions: Comparing Benefits and Costs. Second Edition. Pennsylvania: Venture Publishing, Inc.
Pearce, D.W., Turner K.R. 1990. Ekonomics Of Natural Resources And The Environment. Harvester Wheatsheaf. New York
Piagram, J.J., Jenkins, J.M. 1999. Outdoor Recreation Management. Routledge Advancer in Tourism. London and New York
Soemarwoto, 0. 1986. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan
Wall G, and S. Ross. 1998. Ecotourism towards congruence between theory and practice. Waterloo, Canada: Faculty of Environmental Studies, University of Waterloo . Paper was presented at 7th International Symposium Society and Resource Management, May 27-31, 1998. University of Missouri-Columbia.
Wearing, S., Neil J. 2009. Ecotourism; Impacts, Potentials and possibilities?
Gunawan M.P., Lubis S.M. 2000. Agenda 21 sektoral: Agenda Pariwisata untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup : United Nations Development Programme, (UNDP)
Darsoprayitno, S . 2002. Ekologi pariwisata: Tata Laksana Pengelolaan Obyek dan Daya Tarik Wisata. Penerbit; Angkasa,
Sitarz, D .1993. Agenda 21: the Earth Summit strategy to save our planet. EarthPress,
Harun, R. 2008. Konsep Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan. http://www.skripsi-tesis.com/site/http://kabarindonesia.com
Oleh. Irwan Bempah
Langganan:
Postingan (Atom)